Pemerintah Diminta Beberkan Perusahaan Nakal Perekrut ABK
01 September 2016
Ilustrasi (U.S. Navy via Getty Images)
Gelombang masalah yang melanda para anak buah kapal warga negara Indonesia di luar negeri yang tak pernah surut mendorong sejumlah lembaga sosial masyarakat meminta pemerintah menyebarluaskan daftar hitam perusahaan perekrut pelanggar aturan, seperti tertuang dalam rekomendasi mereka.
“Menyusun standar kontrak kerja untuk ABK kapal penangkap ikan di luar negeri dan perjanjian kerja bersama yang melibatkan pemangku kepentingan (tripartite),” demikian bunyi rekomendasi butir kedua mereka.
Tak hanya itu, mereka juga merasa perlu adanya proses penyusunan standar gaji minimal bagi ABK kapal penangkap ikan di luar negeri guna menghindari penyalahgunaan kontrak kerja.
Kedua poin ini terangkum dalam satu poin rekomendasi lainnya yang berisi usulan untuk menyusun standar kualifikasi perusahaan perekrutan ABK penangkap ikan di luar negeri.
Sementara itu, peraturan yang sudah ada juga harus diharmonisasikan. Sebelumnya, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu, Lalu Muhamad Iqbal, menjabarkan bahwa salah satu akar masalah dari terus merebaknya kasus ABK adalah belum direvisinya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Masalah besar dari UU tersebut adalah tidak adanya pembagian kewenangan yang jelas dari instansi pemerintahan terkait untuk mengurus masalah ABK kapal penangkap ikan.
“Misalnya, BNP2TKI menetapkan bahwa rekrutmen harus melalui mereka, ada syarat untuk memiliki KTKLN [Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri]. Lalu, ada juga peraturan dari Kementerian Perhubungan yang mengatur tentang itu. Mereka akhirnya rebutan, tapi ketika ada masalah, kabur. Belum lagi sekarang ada Kementerian Kelautan Perikanan,” tutur Iqbal.
Berangkat dari permasalahan ini, rekomendasi kali ini juga mengusulkan adanya harmonisasi peraturan yang selama ini sudah diterapkan oleh pihak-pihak terkait.
Lebih spesifik pada ABK penangkap ikan di luar negeri, mereka juga merekomendasikan percepatan ratifikasi ILO Nomor 188 dan The International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F) 1995.
Tak hanya itu, diperlukan pula upaya penguatan diplomasi dengan negara penempatan, tujuan, transit, dan negara bendera kapal terkait instrumen perlindungan terhadap WNI ABK penangkap kapal ikan.
Selain perubahan regulasi, diperlukan pula satu badan atau dewan yang melakukan fungsi pengawasan. “Membentuk suatu Lembaga/Badan/Dewan Perikanan yang beranggotakan unsur-unsur akademisi, LSM, profesional di bidang perikanan, yang bertujuan untuk melakukan pengawasan dan memberi masukkan kepada Pemerintah terkait dengan isu-isu perikanan dan pekerja sektor perikanan,” lanjut rekomendasi itu. (yns/stu)